Arsip untuk Indie

Indie Vs Major

Posted in Artikel with tags , on 12/02/2009 by leeming

Indie Vs Major

Perkembangan musik di Indonesia di abad 20 ini, bagaikan jamur dimusim hujan (masih pepatah lama). Kadang bersamaan muncul, kadang bersamaan tenggelam. Mungkin karena hobi pendengarnya, hanya ingin bosan dengar musik. So. Kalau ada lagu baru maunya dengar terus tiap hari hingga bosan, lalu ditinggalkan. Wets, habis manis sepah dibuang donk.

Jadi pertanyaanya, seberapa besar kita mencintai musik? Seberapa besar kita menghargai karya orang lain? Tanyakan pada diri anda?

Kembali ketopik kita ‘Major Label vs Indie Label’. Sebenarnya, keduanya tidak boleh dipertentangkan. Karena itu, tulisan ini hanya ingin mendamaikan. Sebenarnya Band Major dan Indie memiliki kesamaan tujuan bermusik untuk diri sendiri. Walaupun nantinya, banyak kepentingan yang masuk. Mulai dari kepentingan lingkungan band, Rekaman hingga pendengar.

Inti perbedaan sebenarnya pada produksinya. Band major label yang selama ini disebut band papan atas, memproduksi lagunya menggunakan jasa studio record besar. Untuk di Sukabumi saat ini sebut aja diantaranya Vagetoz, Starlet, Magnet, Pudja Band…Sementara band indie menggunakan studio record bisa dikatakan standar (studio indie), bahkan produksi sendiri (home production), Seperti Leeming Band, Middle Finger (MF212), Bolonk, Borgol, Inhumanity, Black Ramstain dan Band Indie Lainnya di Sukabumi.

Jadi, Siapa yang jago atau menang? Major atau Indie? Tanyakan pada diri anda? Lagu Atau Grup band yang anda paling suka itulah yang jago? Karena yang menilai adalah anda sendiri? Tidak boleh mengikuti pendapat orang lain ataukah melalui polling? Dan, yang jago tidak boleh dinilai dari penjualan albumnya? atau lain-lainnya?

Olehnya, itu Major dan Indie harus disatukan. Kadang, kita tidak bisa membedakan mana band indie mana band major. Karena itu, jika anda sulit membedakannya, kami punya pendapat bahwa keduanya adalah band Anak Republik Indonesia. Lebih pendeknya Band Lokal Indonesia atau band Lokal. Jadi bagi kami, keduanya adalah BAND LOKAL. Akhirnya, Mari kita mencintai band lokal Indonesia dengan membeli kaset cd original.

Tips Buat Band Indie

Posted in Artikel with tags on 12/02/2009 by leeming

Tips Buat Band Indie

“Keberuntungan tidak akan pernah datang tanpa ada usaha”. Well, mungkin jargon itu yang harus di camkan oleh band-band indie saat ini, mengingat begitu banyak band indie lahir, dan sadar – tidak sadar lahir juga kompetisi. Lalu kenapa “keberuntungan?”, yup, mungkin akan terdengar sepele, tapi itulah yang terjadi di blantika musik saat ini. Banyaknya band bagus yang lahir dengan beragam aliran yang ditawarkan, tapi disisi lain banyak juga band bagus yang tidak beruntung. “Bagus” disini mungkin relatif, tapi untuk jaman sekarang yang kaya akan referensi, dan fasilitas yang mempermudah untuk mengaksesnya, membuat telinga banyak orang semakin kritis. So, saya yakin banyak orang yang sudah “baligh” untuk memilih band-band dengan karya yang bagus dan bermutu. Lalu bagaimana dengan ‘band bagus yang tidak berutung?’, tentunya hal itu akan sangat disayangkan. Dimana sebuah karya bagus dan seharusnya di dengar banyak orang, menjadi hal yang berlalu dan biasa-biasa saja. Lalu, bagaimana cara mengundang keberuntungan dan kesuksesan bagi band kita? Apalagi sih yang harus kita review ketika membuat sebuah band? Here’s the tips for you… VISI DAN MISI

Memang ini klise, tapi ini dasar. Banyak band yang bubar gara-gara visi dan misi-nya nggak jelas. Mengingat hal tersebut, band kamu harus menciptakan suasana yang komunikatif antar personel. Tau karakter, kemauan, impian dan cita-cita antar personel. Buatlah suasana band kamu tetep fun, walaupun terkadang banyak perbedaan pandangan, tapi justru itu yang membuat band kamu semakin solid dan tau arahnya kemana.

NAMA BAND

Ini penting. Jangan terlalu percaya jargon “apalah arti sebuah nama”. Bohong banget kalau seseorang memberi nama untuk anaknya tanpa berpikir terlebih dahulu. Pasti orang tua ingin nama yang terbaik untuk anaknya. Begitu juga dengan band yang akan kamu namai, pikirkan nama band yang sekiranya bisa mewakili karakter dan terbaik untuk band kamu. Kalau masih bingung, buatlah list beberapa nama band, lalu buatlah survey. It’s gonna be fun dude!

WARNA MUSIK

Tentukan warna musik band kamu. Cobalah nge-jam di studio, keluarkan uneg-uneg bermusik kamu sebebasnya. Tuangkan berbagai keunikan-keunikan yang ada di setiap personel. Untuk band baru, ada baiknya kamu lebih kreatif dan inovatif. Cobalah mencari alternatif lain dari “musik band-band umum” yang sedang banyak di push banyak media. Tapi bukan berarti kamu melakukan itu karena terpaksa, tapi sesuai dengan karakter masing-masing personel. Kalau membuat band pop, jadilah band pop dengan warna baru, begitu juga dengan genre yang lainnya. Jangan sampai jargon “meramaikan blantika musik Indonesia” berubah jadi “menyeragamkan blantika musik indonesia“. Be creative!

MEMBUAT DEMO

Demo pertama kamu haruslah mantap! karena lagu kamu akan jadi “first impression” bagi orang-orang dan banyak pihak terutama media. Matangkan lagu kamu dengan latihan dan briefing yang rutin. Sebelum membuat demo track, buatlah dulu demo ‘live’. Demo live biasanya merekam lagu kita selagi latihan. Setelah itu, dengarkan bersama-sama dan cari kekurangannya. Dengan begitu, kamu bisa lebih mematangkan aransemen lagu menjadi lebih mantap. Setelah siap untuk membuat demo track di studio, carilah studio yang punya SDM yang bagus untuk perihal recording, mixing sampai mastering.

MANAGE YOUR BAND

Kalau kamu mulai tidak nyaman dengan mengerjakan perihal managerial sendiri, mulailah mencari manager. Well, singkatnya, tugas utama seorang manager adalah mengurus segala kebutuhan band akan panggung, mengkondisikan keuangan band biar efektif dan stabil, dan yang penting adalah sebagai pihak yang bisa menangani masalah-masalah internal di band. Band yang baik adalah band yang ter-manage dengan baik pula. Carilah manager dari orang-orang terdekat, diutamakan yang tau karakter personel, punya link dan pergaulan yang luas, wawasan musik yang cukup dan yang terpenting adalah orang yang jujur. Itu akan sangat membantu.

LINK & MOVEMENT!

Buatlah demo band kamu berguna dan di dengarkan. Untuk movement awal kamu bisa membuat account di myspace.com, purevolume.com, friendster dan fasilitas gratis lainnya di internet. Dan untuk media radio, kemaslah demo kamu semenarik mungkin. Jangan sampai demo kamu tampilannya sama dengan cd-cd kosong yang ada di kantor, karena niscaya demo kamu akan terbuang! Buatlah media merasa dihargai dengan membuat kemasan demo dan profile band yang menarik. Kamu bisa mengemasnya dengan CD interaktif, casing yang menarik (tidak layak buang), profile yang menggugah beserta foto band dengan kualitas bagus sesuai dan image. Disisi lain, jangan ragu untuk lebih dekat lagi dengan orang-orang media, seperti sesekali mendatangi music director (MD) radio-radio yang sekiranya kompeten untuk mengomentari musik kamu, jurnalis media cetak dll. Jangan sungkan juga untuk bergabung dengan berbagai komunitas, karena disitu gudang-nya acara-acara musik. Aktif di milis-milis musik dll. Dengan begitu, kamu akan lebih banyak link untuk melakukan promosi ke berbagai pihak. Setelah menjalankan semua itu, apakah keberuntungan akan menghampiri band kamu? Well, banyak-banyaklah beramal dan berdoa! Semoga beruntung! Cheers!

thx for al a.k.a ucay RR for the share

thx a lot bro

Musik Indie, Diam-Diam Jadi Pendobrak Kemapanan

Posted in Artikel with tags on 12/02/2009 by leeming

Dalam industri musik, indie label bukan cerita baru. Setidaknya bagi Amerika. Kita bisa menelusurinya ke paro pertama 1920-an saat industri rekaman didominasi Columbia, Edison, Victor, atau ARC. Kala itu, perusahaan-perusahaan kecil muncul menyeimbangkan keadaan. Paramount, Okeh, Vocalion dan Black Patti, adalah beberapa di antaranya.

Sekalipun begitu, perlawanan indie label tak urung membuat banyak raksasa terluka, bahkan sebagian di antaranya tak sanggup lagi bertarung. Edison, misalnya, meninggalkan gelanggang dan berkonsentrasi pada radio. Belum lagi Columbia yang diambil CBS, atau Victor yang dikuasai raksasa baru RCA. Untuk dua dasawarsa ke depan, terjadi transfer situasi yang menyisakan peluang bagi siapa pun untuk bermain. Baru pada paro kedua tahun 1940-an, peluang itu kembali menciut seiring kembalinya dominasi para raksasa. Sdikitnya ada enam raksasa yang saat itu memainkan perannya secara signifikan. Mereka adalah Columbia, Victor, Decca, Capitol, MGM dan Mercury.

Di Indonesia, trend “pemberontakan” itu sebenarnya cukup lama digaungkan. “Di Indonesia. Trend indie dibuka oleh PAS Band,” kata David Tandayu dari KripikPeudeus (KP) yang ditemui RILEKS.com di salah satu resto kecil di Jakarta. Sejenak kembali ke belakang, PAS Band PAS tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya.

Kekuatan indie dalam kacamata David, sebenarnya lebih berkaca pada “ramalan” John Nasbitt dalam bukunya Global Paradoks. “Dalam tulisannya, Naisbitt mengatakan kalau perusahaan-perusahaan besar kelak akan digerogoti oleh perusahaan-perusahaan kecil. Kalau mereka ingin selamat, harus merangkul perusahaan kecil itu,” jelas David yang juga seorang asisten dosen di sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka.

Dalam komunitas indie di Indonesia, Kripik Peudeus termasuk sudah merasakan asam garam pergerakan musikalitasnya. ‘”Tapi kami melihat indie sekarang secara sistem makin rapi,” imbih David yang kerap ditulis dengan Day-Vee, vokalis dalam kelompoknya.

David yang sebelumnya lama berkiblat ke scene hip-hop melihat perkembangan indie label cukup pesat perkembangannya. “Sebenarnya perkembangan masing-masing scene musik itu berbeda-beda,” timpalnya. Hiphop misalnya. Menurut David, hiphop harus berterimakasih kepada Iwa K, sebagai pembaru hiphop di Indonesia. “Dengar-dengar malah akan ada Tribute to Iwa K,” ucapnya serius.

Dalam kacamata David, yang skripsinya pun bicara soal musik hiphop (“Meyakinkan dosen untuk setuju, sudah perlu perjuangan berat. Padahal musik lain langsungdi-acc”), Hiphop jangan pernah memasang jarak dengan genre musik lain. “Menurut saya sih, perlu ada daerah abu-abu yang tidak dibatasi oleh apapun,” ucap cowok yang mulai bertubuh tambun ini kalem. “Intinya, hiphop jangan pernah membuat pembatasan,” tandasnya. Sebenarnya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada, termasuk perbedaan idelogi dengan genre lain, membuka diri dengan komunitas lain, menurut David, justru bisa memberi masukan yang berharga untuk komunitas hip-hop itu sendiri.

Dalam sejarahnya di Indonesia, hiphop mulai berkembang tahun 80-an ketika era breakdance menjamur juga. “Dulu hiphop itu identik dengan gangster, psitol, kekerasan dan drugs,” terangnya lagi. Tapi kemudian ketika Tupac Shakur ditembak mati, menurut David, secara pelan-pelan itu menjadi era “the end of the gangster.”

Kekuatan indie label menurut david adalah karena kemampuannya membuat opini yangtidak mainstream. “Bayangkan, mereka membuat zine sendiri, menulis apapun termasuk yang provokatif tentang band mereka. Dan itu mereka lakukan terus menerus supaya orang lain tertular virus mereka,” jelas David. Menurut David, komunitas hiphop itu besar.

Dalam spirit yang sama, seorang Wendi, memilih disebut Wenz Rawk, mengatakan hal yang senada dengan David. Wenz yang lebih benyak berkiprah di area metal underground, punya pandangan yang tidak jauh berbeda dengan David. “Persoalan penggunaan istilah indie dan underground saja, sudah terjadi perdebatanpanjang,” terang cowok yang kini memlih menjadi manajer band `riots` disco The Upstairs. Menurutnya, Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom `indie` dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non- mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasik mengenai istilah `indie atau underground` ini di tanah air.

Sebagian orang memandang istilah `underground` semakin bisa karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang `sell-out`, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih `elastis` dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh meninggalkan istilah ortodoks `underground` itu tadi.

Menyimak sejarah indie di Indonesia, kita akan dibawah sejarah panjang perjuangan meletakkan tataran eksis band-band metal yang sudah malang melinag di scene underground Indonesia. Mengutip sejarah yang Wenz tuturkan, Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy (Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Trencem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten.

Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70-an. “Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar` dan `ekstrem` untuk ukuran jamannya,” jelas cowok berkacamata yang juga editor di salah satu majalah musik terkemuka ini.

Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band-band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah hanya sedikit saja album rekaman yang terlahir dari band-band rock generasi 70-an ini.

“Jakarta dan Bandung masih merupakan sentra dari pergerakan rock underground,” terang Wenz. Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini.

PUNK
Punk sebagai jenis musik, masuk ke tanah air pada tahun 1980-an, bersamaan dengan kegandrungan anak-anak muda pada grup band politis asal Inggris, Sex Pistol. Awal tahun 1990-an, beberapa anak muda di Bandung kemudian mencoba mengartikulasi budaya impor itu dengan berdandan punk: rambut berdiri (mohawk) yang dilengkapi berbagai asesoris khasnya.

Agak unik ngobrol dengan komunitas ini. Mereka punya sikap tegas dan berani berbeda secara prinsip. “Menurut gue, punk itu mengembalikan kontrol atas diri loe sendiri. Do it Yourself dan anti kemapanan,” terang Ika, yang juga kerap disebut Peniti Pink, salah satu anggota komunitas punk di Jakarta. Dalam kacamata Ika, punk lebih kepada persoalan melawan, bukan memberontak. “Kami melawan ketidakadilan, melawan dari tekanan, bukan memberontak tapi melawan. Anti kemapanan dalam arti menolak segala sesuatu yang sudah jadi status quo,” tegas cewek yang dikontak via email itu.

Sebagai seorang perempuan, Ika tidak merasakan adanya perbedaan perlakuaan antara punkers cewek dan cowok. “Dalam skala besar, keterwakilan punker cewek memang tidak sebesar yang cowok. Tapi sekarang sudah lumayan menonjol dan punya pengaruh juga,” tambah Ika. Menurut Ika yang kerap menulis soal punk dan perempuan, punk mampu melihat perempuan dengan lebih adil dan fair dibanding mainstream.

Soal tudingan komunitas punk banyak mengumbar kata-kata provokatif, Ika menolaknya. “Tidak juga. Organ-organ politik dan agama di Indonesia, kayaknya malah lebih provokatif deh,” kilahnya. Tapi Ika tidak menolak jika punk juga menjadi bagian dari gaya hidup. “Punk juga bisa jadi fesyen, musik, atau apapun yang gue rasa punk bisa masuk ke dalamnya,” tandasnya Ika lagi. Tapi percaya atau tidak, Ika mengaku tidak berharap apa-apa dari scene punk di Indonesia. “Tidak ada yang gue harapkan,” tegasnya.

Perkembangan scene punk –komunitas, gerakan, musik, fanzine, dan lainnya– paling optimal adalah di Bandung, disusul Malang, Yogyakarta, Jabotabek, Semarang, Surabaya, dan Bali. Parameternya adalah kuantitas dan kualitas aktivitas: bermusik, pembuatan fanzine (publikasi internal), movement (gerakan), distro kolektif, hingga pembuatan situs.

Meski demikian, secara keseluruhan, punk di Indonesia termasuk marak. Profane Existence, sebuah fanzine asal Amerika menulis negara dengan perkembangan punk yang menempati peringkat teratas di muka Bumi adalah Indonesia dan Bulgaria. Bahwa `Himsa`, band punk asal Amerika sampai dibuat berdecak kagum menyaksikan antusiasme konser punk di Bandung.

Di Inggris dan Amerika –dua negara yang disebut sebagai asal wabah punk, konser punk hanya dihadiri tak lebih seratus orang. Sedangkan di sini, konser punk bisa dihadiri ribuan orang.

Mereka kadang reaktif terhadap publikasi pers karena khawatir diekploitasi. Pers sebagai industri, mereka anggap merupakan salah satu mesin kapitalis. Mereka memilih publikasi kegiatan, konser, hingga diskusi ide-ide lewat fanzine.

Leeming Band Returns From Underground With Love

Posted in Home with tags , , , , , , , , , , , , on 14/11/2008 by leeming

Leeming Logo

Lagu-Lagunya Bisa Di DOWNLOAD Disini :

TERUS TERANG
BILA SAAT TIBA
TEMAN TIDURKU (T2)
WANITA DI ATAS PRIA
JABLAY
SATU BINTANG


Bisa Dibuka Juga Link Yang Lainnya Di Link Dibawah Ini (Click Disini) :

WORDPRESS

CLICK DISINI

BLOG DETIK

CLICK DISINI

MYSPACE

CLICK DISINI

MULTIPLY

CLICK DISINI

IMEEM

CLICK DISINI

Menunggu Kehancuran Industri Musik..???

Posted in Artikel with tags , , , , , , on 17/08/2008 by leeming

Di awali oleh The Beatles, perkembangan industri musik makin bergairah karena telah terjadi perombakan besar-besaran dalam sistemnya. Era sebelumnya, untuk membuat sebuah lagu saja diperlukan pencipta, penyanyi, komposer, pengiring musik dan tetek bengek lainnya, sehingga hasil penjualannya harus dibagi-bagi –hampir katakan– 100 orang. Sedangkan keberhasilan penjualan lagu The beatles hanya di bagi ke anggota The Beatles (4 orang) dan produser! Keuntungan besar di perolah dalam waktu singkat.

Oleh sebab itu produser mulai melirik band band yang aktif mencipta lagu sendiri. Hingga sekarang tak terbilang banyaknya anak-anak muda berusaha membuat band dan mencipta lagu sendiri dengan harapan kaya mendadak. Mereka masih bermimpi industri musik sebagai lahan pekerjaan yang menjanjikan.

Mereka lupa bahwa era teknologi informasi demikian pesat telah merubah wahana kaset menjadi segenggam MP3. Padahal penyedia lagu berformat .mp3 (sejauh pengamatan penulis) hanya yang diemperan jalan alias bajakan. Dulu untuk mendengarkan lagu Restu Bumi-Dewa harus susah payah meminjam kaset, atau membeli sendiri, maka sekarang cukup meng-copy paste file .mp3. Mau minjem Audio CD? diripping dulu trus di copy juga, jadi tidak perlu minjam.

Bila 10 tahun yang lalu hasil penjualan kaset sebuah band mencapai 1 juta keping, apakah masih mengharapkan jumlah yang sama/ lebih tahun ini dan berikutnya? malah bisa jadi karyanya terkenal luar biasa; karena versi mp3 laris manis, tetapi penjualan resmi 0%

Konon gara-gara masalah bajakan yang sukar diberantas, akhirnya tarif konserlah yang harus dinaikkan untuk mendongkrak penghasilan. Jadi jangan kaget bila anda/ institusi berniat mendatangkan band terkenal, mereka mematok tarif selangit! Ga bisa di turunkan?
“Discount boleh tapi lipsync ya? (hanya gerak mimik)” begitulah kira-kira jawaban mereka…

KANGEN band, band baru yang menyedihkan karena album perdananya menuai kritikan: musik cengenglah, musik pasaranlah, bahkan Dhani manaf menyebutnya lebih murah dari Ligna (Ligna biasa digunakan Dhani untuk menyebut musik2 pasaran)
Para pengkritik boleh saja mengkritik, tapi bagaimanapun produser berpikiran bisnis, apa yang bisa dijual selain dari lagu-lagu pasaran? lagu pasaran terjual saja masih syukur!
Padahal bila pengkritik disuruh mendeskripsikan musik berkualitas yang seperti apa mungkin tidak tahu (?) Bagi penulis, tolok ukur band/ penyanyi berkualitas & berharga diri mudah saja; MENOLAK TAMPIL lipsync .

Bila beberapa tahun yang lalu (sampai sekarang) terjadi perang antara pembajak ilegal dengan produsen legal. Maka sekarang pertarungan meluas ke antara sesama legal dengan legal (kasus Youtube, tuduhan pelanggaran hak cipta—masih kontroversi–. Sebagai jalan tengah konon video2 Youtube diproteksi agar tidak bisa didownload (demi hak cipta). Aman sampai kapan?)
Penulis bertanya, apakah perlu kita menghormati kekayaan intelektual selama masih ada pembantaian organ intelektual? (palestina)

Paradigma Baru; Music Opensource (Freemusic)
Mirip dengan perangkat lunak opensource yang dilempar ke pasaran dengan harapan untuk diperbaiki dan disempurnakan. Demikian pula dengan musik, diluncurkan dangan disertai bagian terpisah lagu plus partitur. Distribusi legal atau ilegal tidak jadi masalah.
Keuntungan apa yang diperoleh dari sistem seperti ini? tidak ada, karena hanya kepuasan rohani.

Beberapa tahun yang lalu perangkat lunak opensource jarang dilirik, tetapi kini mulai digandrungi. Penulis menduga kondisi akan sama bila Music Opensource mulai merajalela, akibatnya industri musik tinggal menunggu kehancuran. Hal yang sama juga berlaku untuk industri film.

Bayangkan bila 4 bait lagu karangan anda yang dilempar ke pasaran 1 bulan kemudian lebih kaya harmoni oleh komposer2 lain. Lalu antar komposer sepakat bertemu untuk suatu konser amal menyanyikan lagu tersebut. Masyarakat sudah kenal lagu ini karena mereka pernah ikut menyumbangkan aransemen, walaupun aransemen mereka akhirnya tersisihkan oleh penilaian masyarakat yang lain.

(Setau penulis metode Queen dalam menyusun lagu seperti ini, namun akses terbatas hanya 4 orang. Kadang Brian May datang lalu membubuhkan sedikit aransemen di atas partitur yang telah dibuat Freddy Mercuri sebelumnya, lalu pergi, yang lain datang dst.
Setelah dinyatakan final lalu dimainkan sama-sama)
Music Opensource, berani?